Aksi Damai GCS Jakarta Diwarnai Kekerasan, Cerminan Demokrasi yang Buruk

Senin, 30 September 2024

2575

Penulis: Wilna Liana Az Zahra

image-main-content
Foto: Aksi Damai GCS (Dok/Pri).

News - Aksi damai Global Climate Strike (GCS) di Jakarta pada 27 September 2024, yang bertujuan menyuarakan dua isu penting, krisis iklim dan krisis demokrasi, diwarnai oleh tindakan intimidasi dan kekerasan. 

Aksi yang mulanya berlangsung damai tersebut mendapat serangan dari pihak-pihak tidak dikenal, yang tidak hanya merampas perangkat aksi seperti banner dan poster, tetapi juga melakukan kekerasan fisik terhadap para peserta. 

Salah satu korban mengalami luka lebam akibat pukulan. 

Fenomena ini tidak hanya menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap kebebasan berkumpul dan berpendapat, tetapi juga menggambarkan betapa gentingnya situasi demokrasi dan lingkungan hidup di Indonesia.

Pesan yang dibawa oleh GCS jelas dan tegas, yaitu negara gagal merespons krisis iklim secara memadai. 

Dalam beberapa tahun terakhir, bencana iklim seperti cuaca ekstrem dan degradasi lingkungan semakin sering terjadi, berdampak pada masyarakat rentan, termasuk nelayan dan penyandang disabilitas. 

Namun, kebijakan pemerintah masih jauh dari harapan. Target pengurangan emisi tidak ambisius, solusi palsu yang hanya menguntungkan oligarki kerap dipromosikan, sementara para pembela lingkungan justru diintimidasi dan dikriminalisasi.

Ironisnya, di saat yang sama, demokrasi di Indonesia juga berada di ujung tanduk. Revisi undang-undang pemilihan kepala daerah yang tergesa-gesa tanpa partisipasi publik serta represi terhadap aksi protes menunjukkan semakin sempitnya ruang sipil. 

Kekuatan oligarki dan kelompok elit semakin menguasai pemerintah, mengorbankan hak-hak masyarakat luas. Tanpa demokrasi yang kuat, mustahil berharap ada kebijakan iklim yang adil dan berkelanjutan.

Aksi damai GCS di Jakarta seharusnya dilindungi oleh pihak berwenang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih melindungi hak kebebasan berpendapat, polisi membiarkan intimidasi terjadi, bahkan meminta peserta aksi untuk menghentikan protes sebelum waktunya. 

Ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang jelas, di mana negara melalui aparatur keamanannya gagal menjalankan tugas melindungi hak warga negara.

Gerakan GCS sendiri adalah bagian dari aksi massa internasional yang menuntut tindakan cepat dan tegas terhadap krisis iklim. 

Diinisiasi oleh aktivis muda Greta Thunberg pada tahun 2018, gerakan ini telah menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia untuk turun ke jalan menuntut aksi nyata melawan perubahan iklim. 

Di Indonesia, momentum GCS semakin kuat sejak tahun 2019, dengan ribuan peserta aksi dari kalangan muda yang peduli terhadap masa depan planet kita.

Namun, kekerasan yang terjadi dalam aksi GCS di Jakarta mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh para aktivis iklim di negeri ini. 

Intimidasi dan serangan terhadap peserta aksi tidak hanya mencederai semangat demokrasi, tetapi juga merusak upaya global untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran lingkungan yang lebih besar.

Sudah saatnya negara bertindak tegas dalam melindungi kebebasan berekspresi dan memperkuat upaya mitigasi perubahan iklim. Tanpa langkah nyata, baik di ranah demokrasi maupun lingkungan hidup, masa depan Indonesia dan generasi mudanya akan semakin suram.

 

(Wil/Far)

Tags

tag_fill_round [#1176] Created with Sketch.

Berita terkait