Mengenal Concurring Opinion dan Dissenting Opinion, Ramainya Putusan MK Soal Batas Minimal Usia Capres-Cawapres

Senin, 23 Oktober 2023

3125

Penulis: Fildzah Izzati Ishmah

image-main-content
Foto: Hakim MK Anwar Usman (Katadata.co).

Edukasi - Sobat Youtz, kita baru saja digemparkan dengan berita mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan pengajuan Judicial Review seorang mahasiswa mengenai batas usia pencalonan seorang capres dan cawapres pada kontestasi politik pemilihan umum. 

Terlepas dari huru-hara dan juga banyaknya teori serta dugaan di balik putusan MK ini, kita perlu mengetahui pendapat dan landasan hukum 9 hakim Mahkamah Konstitusi. Terdapat empat Hakim Konstitusi yang memberikan Dissenting Opinion dan Concurring Opinion, lalu apa sebenarnya arti dari kedua istilah itu? 

Apa itu Concurring Opinion

Concurring Opinion yaitu apabila pendapat seorang Hakim mengikuti sependapat dengan pendapat Hakim yang mayoritas tentang amar putusan, misalnya setuju koruptor tersebut dihukum 8 tahun, tapi dia hanya mengatakan berbeda dalam pertimbangan hukum (legal reasoning) nya. 

Apa itu Dissenting Opinion

Dikutip dari laman Hukum Online, “An opinion by one or more judges who disagree with the decision reached by the majority. -- Often shortened to dissent. -- Also termed minority opinion.” 

Apabila dijelaskan dalam Bahasa Indonesia adalah suatu pendapat dari satu atau lebih hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang dicapai oleh mayoritas.  

Seorang Hakim berbeda pendapat dengan Hakim yang mayoritas, baik tentang pertimbangan hukum maupun amar putusannya. Pendapat Hakim yang dissenting opinion tersebut dimuat dalam putusan secara lengkap dan diletakan sebelum amar putusan. 

Dalam kasus Judicial review yang diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (FH Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru yang MK menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. 

Terdapat tiga hakim yang mengajukan Dissenting Opinion yaitu: 

Wahidudin Adams yang menyatakan bahwa pengaturan batasan usia untuk capres cawapres sangat lazim dilakukan oleh pembentuk undang-undang.  Penyebabnya, jabatan presiden dan wakil presiden secara esensial sangat berbeda dengan jabatan raja/ratu/sultan/kaisar dan lain sebagainya, yang umumnya diangkat pada berapapun usia mereka. 

Wahiduddin juga mengatakan, jika MK mengabulkan permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, maka yang terjadi dalam Mahkamah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai legislating or governing from the bench tanpa didukung alasan-alasan konstitusional yang cukup. 

Arief Hidayat menyatakan bahwa proses persidangan ini sangat mengusik hati nuraninya, karena terdapat banyak kejanggalan, terutama lamanya penjadwalan persidangan yang berakibat pada potensi menunda keadilan beberapa keganjilan inilah yang menjadikan Hakim Arief merasa perlu bersikap imparsial dan harus lepas dari berbagai intervensi politik ataupun kepentingan sehingga memutuskan tidak mengabulkan permohonan pemohon.

Saldi Isra’ Memiliki pendapat sebagaimana dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023.  Saldi lantas mengungkap terdapat belasan permohonan uji materi syarat usia capres-cawapres yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Dari belasan perkara itu, hanya perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengarkan keterangan presiden, DPR, pihak terkait, dan ahli. 

Adanya Dissenting Opinion bisa menjadi ruang penafsiran dan kebebasan bagi hakim Konstitusi sehingga meminimalisir potensi saling intervensi karena suatu kepentingan politik dan pribadi. 

Hal ini juga bisa menjadi jalan penegakan keadilan hukum bukan hanya bagi pihak pemohon namun juga  bagi seluruh masyarakat Indonesia sebagaimana telah diatur dalam UUD 1945. 

Nah, gimana menurut Sobat Youtz?

 

(Fli/Frq)

Tags

tag_fill_round [#1176] Created with Sketch.

Berita terkait